Hadits Shahih: Pengertian, Syarat, Hukum, dan Tingkatannya
Pengertian Hadits Shahih
Secara bahasa, shahih (الصحيح) berarti “sehat”, lawan dari “sakit”.
Adapun menurut istilah ulama hadits, hadits shahih adalah:
ما اتصل سنده بنقل العدل الضابط عن مثله إلى منتهاه، من غير شذوذ ولا علة قادحة.
“Hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit dari yang semisalnya hingga akhir sanad, tanpa adanya kejanggalan (syudzudz) dan tanpa cacat (‘illat) yang merusak.”
Oleh karena itu, suatu hadits dikatakan shahih apabila memenuhi lima syarat utama berikut.
Syarat-Syarat Hadits Shahih
1. Sanad Bersambung (اتصال السند)
Isnad-nya (rantai periwayatan) harus bersambung. Artinya, setiap rawi dalam sanad itu harus benar-benar mendengar langsung dari gurunya.
Hadits yang tidak memenuhi syarat ini termasuk dalam kategori mursal, munqathi’, mu’dlal, atau mu’allaq.
2. Keadilan Rawi (عدالة الراوي)
Rawi harus memiliki integritas, menjaga muru’ah (kehormatan diri), menjauhi perbuatan maksiat dan bid’ah.
Keadilan ini tidak sebatas pada kebenaran saat meriwayatkan hadits, tetapi pada kepribadian dan akhlaknya secara umum.
3. Ketelitian dan Kekuatan Hafalan (ضبط الراوي)
Terdiri atas dua jenis:
- Ḍabt ṣadr (ضبط الصدر): kekuatan hafalan, yaitu perawi mampu mengingat hadits yang ia dengar kapan pun dibutuhkan.
- Ḍabt kitāb (ضبط الكتاب): ketelitian dalam tulisan, yakni hadits ditulis dalam kitab yang terpercaya, diuji, dan dikoreksi oleh gurunya.
4. Tidak Menyelisihi Rawi Tsiqah (عدم الشذوذ)
Isi hadits tidak bertentangan dengan riwayat lain yang lebih kuat dari sisi sanad dan periwayat.
5. Tidak Mengandung Cacat (‘Illat) (عدم العلة القادحة)
Hadits tersebut tidak memiliki cacat tersembunyi yang dapat melemahkan kualitasnya. Cacat ini kadang tidak tampak secara lahir, tapi bisa ditemukan oleh para ahli hadits melalui analisis mendalam.
Hukum-Hukum Terkait Hadits Shahih
1. Menunjukkan bahwa hadits tersebut berasal dari syariat Islam
Hadits shahih dijadikan hujjah (dasar hukum) dalam menetapkan syariat.
2. Wajib diamalkan
Setiap hadits yang shahih wajib diamalkan, meskipun tidak terdapat dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim.
Hal ini ditegaskan oleh Ibnus Shalah, Imam Nawawi, dan lainnya.
3. Hadits shahih tetap diterima meski tidak diriwayatkan oleh banyak sahabat
Satu orang sahabat saja yang meriwayatkannya tidak merusak status keshahihannya.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ighatsatul Lahfan:
ولا يضره أن يكون عن صحابي واحد فقط.
4. Wajib diamalkan kecuali ada penghalang syar’i
Apabila telah diketahui bahwa hadits itu shahih, maka pengamalannya wajib kecuali:
- Ada dalil lain yang membatalkan
- Ada ijin khusus yang membolehkan meninggalkannya
- Atau ada nash yang bertentangan secara kuat
5. Tidak semua hadits boleh disampaikan ke orang awam
Karena bisa menyebabkan salah paham atau fitnah, terlebih jika akal mereka belum mampu memahaminya.
Contohnya, hadits berikut:
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ
(Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, dengan tulus dari hatinya, melainkan Allah mengharamkannya atas neraka)
— HR. Bukhari dan Muslim
Mu’adz bin Jabal r.a. bertanya:
يَا رَسُوْلَ اللهِ! أَفَلاَ أُخْبِرُ بِهَا النَّاسَ فَيَسْتَبْشِرُوْا؟
“Wahai Rasulullah, apakah tidak sebaiknya aku menyampaikan hadits ini kepada orang-orang agar mereka bergembira?”
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذًا يَتَّكِلُوْا
“Kalau begitu, mereka akan mengandalkannya.”
Oleh sebab itu, Mu’adz hanya menyampaikan hadits ini menjelang wafatnya agar tidak menimbulkan salah paham.
Sikap Ulama terhadap Penyampaian Hadits
Ali bin Abi Thalib r.a. berkata:
حَدِّثُوا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُونَ، أَتُرِيدُونَ أَنْ يُكَذَّبَ اللهُ وَرَسُولُهُ؟
“Sampaikanlah kepada manusia apa yang mereka pahami. Apakah kalian ingin agar Allah dan Rasul-Nya didustakan?”
— HR. Bukhari
Ibnu Mas’ud r.a. juga berkata:
مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لاَ تَبْلُغُهُ عُقُوْلُهُمْ إِلاَّ كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً
“Tidaklah kamu menceritakan suatu hadits kepada suatu kaum yang akalnya tidak mampu mencernanya, kecuali akan menjadi fitnah bagi sebagian dari mereka.”
— HR. Muslim
Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan bahwa di antara hadits yang tidak disukai untuk disampaikan kepada umum adalah hadits-hadits tentang syafa’at, keringanan siksa, dan lainnya yang bisa disalahpahami.
Keteladanan Nabi ﷺ dalam Beribadah
Meskipun Nabi ﷺ telah dijamin ampunan oleh Allah, beliau tetap beribadah dengan tekun. Saat ditanya:
أَتُصَلِّيْ وَقَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ؟
“Apakah engkau masih shalat malam, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang lalu dan yang akan datang?”
Beliau menjawab:
أَفَلَا أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا؟
“Tidakkah aku ingin menjadi hamba yang bersyukur?”
Baca Juga : MACAM-MACAM HADITS MENURUT ULAMA
Tingkatan-Tingkatan Hadis Shahih
Ulama hadits membagi hadits shahih ke dalam beberapa tingkatan, berdasarkan kualitas sanad dan rawinya:
1. Muttafaq ‘alaih
Hadits yang disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
2. Shahih Riwayat Bukhari saja
3. Shahih Riwayat Muslim saja
4. Shahih menurut syarat keduanya (Bukhari dan Muslim)
Yaitu hadits yang rawinya terdapat dalam kitab keduanya, walau tidak diriwayatkan di sana.
5. Shahih menurut syarat Bukhari
6. Shahih menurut syarat Muslim
7. Shahih menurut selain keduanya
Yakni menurut para imam hadits lain yang dapat dipercaya.
Mandzumah Hadits Shahih
Sebagaimana disebut dalam Mandzumah Ṭal‘atul Anwār karya Syaikh Abdullah al-Ja‘awi:
كُلُّ مَا اتَّفَقَا عَلَيْهِ قَبِلْنَا
وَحَيْثُمَا انْفَرَدَ أَحَدُهُمَا فَقَدْ رَوَى
وَاحْكُمْ بِصِحَّةٍ لِمَا عَلَى الشُّرُوْطِ
وَحَيْثُ لَا فَخُذْهُ بِالسُّكُوْتِ
Maknanya:
- Yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim adalah tingkatan tertinggi.
- Yang diriwayatkan oleh salah satunya adalah tingkatan berikutnya.
- Kemudian, hadits-hadits yang sesuai syarat keduanya, lalu yang sesuai syarat salah satunya.
- Terakhir, hadits shahih yang menurut selain mereka berdua.
Penutup
Memahami hadits shahih bukan hanya penting dalam ranah keilmuan, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Ia menjadi dasar pijakan amal dan pedoman hidup yang lurus. Semoga kita senantiasa diberikan kemudahan oleh Allah dalam memahami dan mengamalkan hadits-hadits Nabi ﷺ dengan benar dan penuh adab.
Sumber : Manhalul Lathif Karangan Abuya As Sayyid Muhammad Bin Alawi Bin Abbas Al Maliki Al Hasani
Share this content: